Langit
senja kota Jogja sore ini menyambut kedatanganku. Udara sore yang lumayan panas
dibandingkan kota Malang. Aku turun dari kereta sambil menekan nomer telepon
seseorang.
“hi,
aku sudah di stasiun nih” ucapku pada seseorang di ujung telepon sana. Percakapan
yang sangat singkat. Akupun duduk pada salah satu kursi panjang sambil menunggu
dia yang ku hubungi tadi sambil mengeluarkan sebuah novel yang baru ku beli
semalam. Tiba-tiba seseorang meminta ijin duduk disampingku.
“mbak,
aku duduk sini boleh?” ucapnya sopan. Dan anggukkanku membuatnya segera duduk. Kuperhatikan sekilas wajah laki-laki yang duduk di samping ku ini, dan
sepertinya dia lebih tua dariku. Dengan kulit sawo matang, rambut lurus,
menggunakan jaket warna merah dengan sebuah earphone meligkar pada lehernya. Cukup
tampanlah.
“mau
mbak?” tanyanya sambil menawarkan sepotong coklat padaku yang sedari tadi tanpa
sadar diam-diam memperhatian wajahnya, duh malunya aku ketahuan memperhatikannya.
“makasih
mas” tolakku sopan. Handphone tiba-tiba berdering “halo, gue sudah di depan
nih, elu dimana?” ucap orang di seberang telepon yang baru saja aku matikan.
Tanpa memperdulikan laki-laki itu aku bangun dari kursi panjang itu dan
berjalan dengan cepat menuju ke depan stasiun. Sosok yang sudah lama tak ku
lihat itu sedang sibuk-sibuknya mencari keberadaan ku.
“mas
Reza” panggilku dari belakang punggungnya dengan cepatnya dia berbalik dan
langsung ku sambut dengan peluk hangat. Betapa rindunya aku pada sosok yang
sekarang dalam pelukanku ini.
“elu
dari mana aja sih, gue cariin juga dari tadi”
“aku
tadi duduk di dalam sana, soalnya panas kalau duduk di luar. Ntar aku hitem
lagi” ucapku manja
“udah
2 tahun enggak ketemu elu masih aja manja kaya dulu. Laper kan? Kita makan dulu
ya” tanyanya dan hanya ku sambut dengan anggukan. Aku dan mas Reza berjalan
menuju mobil Honda CRV yang di parkir mas Reza tidak terlalu jauh.
Sepanjang
perjalanan aku sibuk menceritakan segala unek-unekku tentang semester satu di
awal kuliah ini. Dan mas Reza dengan sabarnya mendengarkan hingga kami sampai
pada satu satu resto yang cukup terkenal di kota ini. Akupun masuk ke dalam
resto tersebut. Tanpa harus bertanya padaku mas Reza sudah memesankan makanan dan minuman untukku
karena dia tahu betul apa yang ku suka dan apa yang ku benci. Walaupun hanya
seorang kakak tiri mas Reza sangat dekat denganku. Ibuku dan Ayah mas Reza
resmi menjadi suami istri 5 tahun lalu. Saat tui aku masih duduk di bangku SMP
kelas 2 dan mas Reza duduk di bangku SMA kelas 1. Tidak seperti saudara tiri
yang ada pada cerita FTV hubunganku dengan mas Reza sangat dekat. Akhirnya makanan
datang dan tanpa bicara banyak aku langsung saja melahapnya.
***
Benar
kata orang-orang, Jogja lebih indah bila malam hari, malam yang lumayan dingin. Setelah
beristirahat sejenak, malam ini aku dan mas Reza keluar menikmati udara malam
kota Jogja, menuju salah satu tempat yang sangat terkenal di kota Jogja. Alun-alun
kidul kota Jogja. Dimana di tempat ini terdapat pohon beringin kembar yang
tumbuh gagah dengan segudang misteri yang mengiringinya.
Mas
Reza mengajakku untuk berjalan menuju melewati 2 beringin itu, yang katanya jika
orang yang berhasil menyeberang beringin alun-alun, ia mampu menolak bala.
“yuk coba lewati beringin kembar itu” ajak mas Reza yang lalu mencoba menutup mataku
dengan sebuah kain hitam. Sesaat semuanya pun menjadi gelap, tangan ku yang
sedari tadi digenggamnya sekarangpun dilepasnya. Aku berusaha berjalan menurut
kata hatiku. Tidak juga berharap dapat melewati 2 beringin ini hanya berharap
agar mata ini dapat kembali melihat indahnya malam kota Jogja. Hampir 4 menit
aku berjalan dan tiba-tiba aku terjatuh karena menabrak seseorang dan segera ku
buka penutup mata itu.
“lihat-lihat
dong kalau jalan” kataku dengan nada sedikit kasar, tanpa sadar ternyata orang
menabrakku matanya dalam keadaan tertutup sama seperti diriku.
“maaf
mbak, saya…” ucapannya tanpa melanjutkan kalimatnya, diam seperti ada yang tersangkut di
tenggorokkannya.
“kamukan
yang tadi sore di stasiun” kataku secara tiba-tiba “ elu enggak apa-apa di?” Tanya mas
Reza yang sudah berdiri di belakangku.
“enggak
apa-apa kok mas” kataku pada mas Reza “maaf ya mas” ucapku pada laki-laki yang
masih berdiri di hadapanku. Tanpa sepengetahuanku ternyata aku berhasil
melewati 2 beringin kembar itu.
“iya
mbak, saya juga minta maaf” ucapnya dengan wajah penuh penyesalan dan wajah
yang masih tampan seperti sore tadi di stasiun. Bahkan semakin tampan mungkin,
apa yang sedang ku pikirkan. Tiba-tiba butir gerimis manja turun dan mas Reza
menarik tanganku, menuntunku menuju parkiran mobil agar dapat berteduh di dalam
mobil. Ah sialnya hujan ini, turun pada saat seperti ini.
“nih,
pake jaket gue” ucap mas Reza sambil melempar jaketnya “kita cari makan aja ya
sekarang” tawarnya dan aku hanya mengangguk saja. Aku masih memikirkan
laki-laki tadi. Wajahnya tiba-tiba mengisi seluruh pikiranku. Wajah teduhnya
membuatku ingin bertemunya lagi. Walaupn hanya sekali, ingin sekali rasanya aku
tahu tentang dirinya. Namanya siapa, di mana dia tinggal, segala tentangnya aku
ingin tahu. Hingga malam berlalu aku masih saja memikirkan laki-laki yang sudah
dua kali ku temui secara tidak sengaja itu. Betulkah tidak sengaja?
***
Selamat
pagi kota Jogja, sudah dua hari aku hanya terdiam di rumah. Gara-gara gerimis
manja malam itu aku menjadi tidak enak badan. Mas Reza masih sibuk dengan
segala urusannya di kampus, dan dia berjanji akan mengajakku mengunjungi pantai
Sundak sore ini. Salah satu tempat yang paling aku sukai. Entahlah sejak kapan
aku suka pantai, bagiku pantai adalah surga dunia, ciptaan Tuhan memang selalu
indah. Aku memeriksa handphone ku dan banyak sekali miscall dan pesan singkat
yang masuk.
***
Aku
sudah berada pada salah satu resto bersama mas Reza dan dua orang
temannya. Mas Riki dan Mas Andre. Dengan cerewetnya mas Andre banyak bertanya tentangku.
“Diah
masih liburan ya” Tanya mas Andre
“iya
Mas” jawabku diikuti senyum. Untung makanan segera datang karena perutkku sudah
sangat lapar. Salah satu alasan juga agar mas Andre berhenti bertanya karena aku sudah mulai risih. Sedari tadi berkenalan dia sudah sangat –kepo- dengan segala
tentangku.
“gue
sama Diah mau ke Sundak ntar sore, lu berdua mau ikut?” Tanya mas Reza pada
kedua temannya itu.
“sebenarnya
mau sih Za, tapi ntar gue ada urusan organisasi” jawab mas Andre yang membuat
ku sangat lega mendengarnya. Setidaknya kuping tidak perlu mendengarnya
bertanya.
“gue
juga enggak bisa, mau nonton bareng Ririn” jawab mas Riki
“elu
mah pacaran mulu” lanjut mas Andre. Aku hanya diam sambil menikmati santap
siangku tanpa memperdulikan percakapan ketiga orang itu yang masih terus
berlanjut.
***
Akhirnya
aku sampai juga pada tempat yang sangat ku sukai ini, udara sore yang sangat
indah dengan langit orange nya menambah keindahan tempat ini. Tak kusia-siakan
kesempatan ini, ku ambil kamera dan ku abadikan segala ke indahan yang nampak tepat
di hadapan mataku, mas Reza yang sedari tadi hanya berdiri di samping ku
tiba-tiba merangkul pundakku
“yuk
foto berdua bareng gue” ucap mas Reza sambil mengambil kamera yang sedari tadi ku
pegang.
“1…2…3”
baru ku sadari betapa tampannya kakak tiriku ini, tampan? Tiba-tiba aku kembali
mengingat laki-laki yang sudah 2 kali ku temui tanpa sengaja itu dan sampai detik
ini tak ku ketahui namanya. Mas Reza masih dengan asyiknya mengambil gambarku,
entah itu sudah ijin atau belum. Dia memotretku dari segala sisi.
“mas
Reza jangan foto aku mulu dong” ucapku dengan nada kesal
“elu
cantik si lagian di”
“mas
baru sadar kalau aku ini begitu cantik? Jawabku namun tak diikuti jawaban dari
mas Reza, dia malah menarik tanganku dan mengajakku menyusuri bibir pantai yang
indah ini. Ooh sungguh indah.
Entahlah
kemana hilangnya mas Reza, wakru sekarang menunjukkan pula 17:00. Matahari sore
yang sangat indah, dan aku masih menyusuri bibir pantai hingga ku lihat sosok
seseorang yang sedang duduk menikmati hangatnya sinar mentari sore ini juga. Dengan
kaos oblong warna putih, celana jeans dengan panjang di bawah lutut dan
tentunya earphone yang melingkar di leher. Si tampan, entah sejak kapan aku
memberikannya julukan seperti itu. Dengan setengah berlari aku mencoba
menghampirinya. Jodoh? Kata itu tiba-tiba terbesit dalam benakku. Aku yang tak
sadar, saat inipun aku sedang mengenakan kaos putih dan bawahan rok berbahan
jeans pula dengan warna yang seirama. Kami bagai sepasang kekasih yang menggunakan
baju -couple-
“hi”
sapaku singkat
“eh,
kamu” dengan nada tak percaya bahwa kami akan bertemu lagi
“sedang
ngapain disini?” tanyaku
“menikmati
langit sore, dan kamu?”
“sama”
jawabku singkat, entahlah. Aku tiba-tiba tidak dapat berkata apa-apa. Wajahnya benar-benar
membuatku membisu. Tak ku duga dia bahkan lebih tampan dari pada yang ku
bayangkan.
“hei!”
tegurnya sambil menggerakkan tangannya di depan wajahku. Malunya diriku yang
kedapatan sedang menikmati wajahnya.
“iiyaaa…”
jawabnya dengan senyum malu
“aku
Tanya, kamu kesini sama siapa?”
“oohh..
sama mas Reza, tapi gatau deh sekarang dia kemana”
“pacar?”
lanjutnya
“heh?
Bukan kok. Dia itu Mas ku” sebuah pertanyaan yang sedikit mengejutkan hatiku. Walaupun
sudah sering mendapat pertanyaan seperti itu, namun kali ini terasa berbeda. “Dan
kamu?” lanjutku
“Sendiri
saja”
“Diah”
kataku sambil memgulurkan tangan
“Bayu”
jawabnya sambil tersenyum dan mengulurkan tangannya dan menggenggam jemari
tanganku. Tangan yang begitu dingin. Lesung pipi yang ada di wajahnya membuat
dia lebih terlihat tampan. Oh Tuhan indah sekali ciptaanmu.
“Hei!
Ngelamunin apa sih?” tegurnya untuk kesekian kali
“kamu”
jawabku begitu polos
“heh?”
dengan ekspresi yang kaget
“eehh,
bukan, bukan. Maksudnya lagi mikir mas Reza tadi kemana” oh Tuhan wajahku
serasa mendidih. Kami banyak bicara setelah itu, hingga matahari sudah
digantikan oleh bulan. Dan benar seperti dugaan awalku bahwa dia lebih tua
dariku setahun. Tanggal lahir kamipun sama 25 Februari. Aku semakin penasaran
saja dengan laki-laki ini. Kami berpisah karena aku harus segera kembali
begitupun dengannya. Dalam perjalanan pulang aku masih saja memikirkan tentang
Bayu. Laki-laki yang baru kutemui tiga kali ini sudah saja menjadi tema utama
dalam pikiranku.
“Diah?”
panggil mas Reza
“iya
mas?”
“ayo
turun, kita sudah sampai rumah”
“ooh!”
kenapa perjalanannya cepat sekali pikirku.
***
Aku
menjatuhkan tubuh pada kasur empuk, rasanya badan ini ingin remuk saja. Baru saja
aku ingin menuju indahnya alam mimpi dan handphoneku tiba-tiba bergetar.
Percakapan
diantara kamipun berlanjutm dan berakhir dengan ucapan selamat tidur darinya....